Pilpres 2019 tinggal satu setengah bulan
lagi. Adu strategi kedua kubu paslon kian tampak frontal. Terakhir, wacana
audit IT KPU gentar diloncarkan oleh kubu 02. Menurut versi kubu Prabowo, Tim
Khusus mereka menemukan ada 8.145.713 pemilih ganda yang tercatat di sistem
KPU. Amien Rais dan Fadli Zon adalah dua tokoh yang sangat getol mendorong
adanya audit forensic IT KPU. Sekjen KPU Arief Rahman Hakim mengatakan Amien
Rais yang sempat hadir dalam pertemuan dengan KPU menitip pesan agar KPU
melakukan audit forensik IT. Apabila hasilnya tidak bersih, Prabowo
Subianto-Sandiaga Uno disebut akan mundur dari Pilpres 2019. Strategi ini
dinilai kritis,bagus dan mendorong adanya pemilu yang bersih. Namun, bisa saja
ini bagian dari strategi kotor. Mengapa?
Jika
dilist, ada banyak strategi kotor yang dimainkan oleh Kubu Prabowo demi
mendongkel wewenang KPU; hoax 7 kontainer yang tercoblos, DPT WNA, kisi-kisi
dalam pilpres, sistem IT KPU diretas, adanya pemilih bodong di Jawa Tengah-Jawa
Timur dan pertemuan-pertemuan KPU dengan tim paslon 01 yang dinilai mendikte
serta melobi keputusan KPU. Narasi besar yang hendaj dimainkan oleh kubu
Prabowo adalah meletakkan mereka pada kubu yang dicurangi, sehingga hasil
pilpres menaikkan image dan elektabilitas Prabowo yang sejatinya sudah dicap
buruk oleh masyarakat. Keburukan yang menghinggap di kubu Prabowo saat ini,
seperti penebar hoax, memainkan isu agama, mendukung Islam Radikal akan
terhapus dengan sendirinya jika nanti mampu menciptakan opini bahwa KPU dan
Pilpres 2019 curang dan dimanipulasi Jokowi.
Pertama, hal tersebut adalah bagian dari
membangun frame dan menggiring opini bahwa Pemilu kali ini akan berjalan
curang dan kecurangan itu dilakukan oleh pemerintahan Jokowi, juga aparat penyelenggara
Pemilu, KPU dan Bawaslu. Hoax 7 kontainer surat suara yang sudah tercoblos
adalah salah satu permulaannya. Selanjutnya, isu masuknya WNA yang mempunyai
hak pilih meskipun sudah dihapus oleh KPU. Berkaitan dengan WNA, KPU telah
menghapus 103 DPT WNA. Sedangkan WNA yang memiliki E-KTP, tidak akan masuk DPT
dan memilih di Pemilu 2019. Garis besar yang hendak ditampilkan kubu Prabowo
adalah bahwa pemilu kali ini sudah dimanipulasi dan disetting sedemikian rupa
oleh Pemerintah Jokowi.
Kedua,
kalau berita ini masif dan dipercaya oleh masyarakat, maka bisa jadi orang
tidak akan datang ke TPS untuk memilih. Atau setidaknya sebagian orang tidak
akan memilih. Karena dibangun ketakutan-ketakutan yang ada dalam dirinya.
Kondisi ini mungkin saja bisa dimanfaatkan oleh kubu Prabowo memasukkan
‘pemilih gelap’ di pilpres nanti. Hal ini bisa dikuatkan dengan himbauan yang
diserukan oleh kelompok-kelompok pendukung paslon 02 bahwa pada 17 April 2019
akan diadakan shalat subuh berjamaah dan diakhiri dengan datang mengawasi
pencoblosan di TPS. Kedatangan massa yang ramai (himbauan dari Al-Khattath,
Sekjend FUI) bisa diartikan sebagai tindakan provokatif dan intimidasi bagi
pemilih. Mungkin saja, kesempatan ini akan digunakan untuk mendorong pemilih
mencoblos 02 atau memanfaatkan ketidakhadiran pemilih (menggantikan).
Ketiga,
Prabowo ingin mengatakan bahwa kalau nanti dia kalah, dia kalah karena paslon
01 curang menggunakan segala cara. Ending dari strategi kotor ini adalah
menciptakan image bahwa jika Prabowo kalah, ia kalah secara ksatria karena
dibohongi. Sebaliknya, jika menang, kubu Prabowo akan menilai jika pemilu kali
berjalan aman, bersih, jujur, sesuai keinginan rakyat, berkat kerja keras umat
Islam dan cenderung mengaitkannya dengan pilpres 2014. Bahwa, kemenangan Jokowi
di 2014 adalah karena kecurangan KPU dan elite-elite pemerintahan.