Pernyataan calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto mengenai chief
of law enforcment dalam debat sesi pertama capres dan cawapres yang
bertemakan Hukum,
HAM, Korupsi dan Terorisme terlihat leluasa dan presiden terkesan berhak
melakukan intervensi hukum.
Pun, ucapan Prabowo sangat berbahaya
karena terkesan ingin mengembalikan Indonesia sekarang ke masa lalu atau zaman
Orde Baru dimana Presiden Soeharto zaman itu memiliki kekuasaan mengantur
segalanya.Menurut Pengamat Hukum Trisakti, Abdul Fikar Hajar, presiden itu harusnya
hadir ketika ada kemacetan hukum, tegasnya.
Bagi Abdul Fikar dalam debat pertama soal hukum, HAM, korupsi dan
terorisme, Prabowo -Sandi dinilai lebih pada mendekati persoalan pada jangka
pendek saja, sementara Jokowi Maruf lebih mendekati permasalahan dari sisi
persuasif komprehensif dan normative.
Baginya, Prabowo keliru memahami
konsep chief lawa enforcement. Konsep tersebut harusnya dipahami bahwa hukum
harus bekerja dengan baik sesuai dengan track dan tidak melanggar HAM. Bukan justru
dimaknai dalam pengertian intervensi alias campur tangan.
“Bukan dalam pengertian intervensi harus begini harus begitu. Presiden
harus dalam kemacetan penegakan hukum,” pungkasnya.
Sementara Direktur Eksekutif Para Syndicate Arif Nurcahyo melihat Prabowo masih terbawa nuansa pemerintahan
orde baru. Presiden bisa melakukan kontrol atas hukum itu sendiri. Ia menangkap
bahwa bawah sadar Prabowo bawah sadar orde baru, zaman otoritarian bahwa justru
subjek kepala negara menjadi control.
Arif menjabarkan, dalam sistem negara hukum, hukum memayungi di atas
segalanya. Termasuk pula melakukan kontrol terhadap presiden. Hukum sebagai kontrol semua aparat Negara, termasuk
didalamnya presiden. Tetapi pemaknaan prabowo terbalik. (sumber:radarmalang)